BAB II
FILSAFAT KOMUNIKASI
A. Pengertian atau Definisi Filsafat Komunikasi
1. Definisi Filsafat
Secara etimologis atau ilmu
bahasa, filsafat bersal dari kata Yunani: philosophia, sebagai rangkaian kata
philos atau philein yang berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan.
Sehingga filsafat dapat diartikan cinta pada kebijaksanaan. Istilah ini berawal
pada pandangan bahwa pengetahuan manusia yang sensual melalui indra bukan
pengetahuan sebenarnya; pengetahuan itu relatif umum serta mencakup dasarnya, meliputi
keseluruhan objek sampai ke akar. Para pemikir Yunani ingin tahu akan sebab
yang sedalam-dalamnya. Mereka juga tahu, pengetahuan seperti itu hanya dimiliki
para dewa. Manusia hanya punya keingina, cita-cita semata. Manusia yang cinta
akan pengetahuan sejati disebut cinta kebijaksanaan, filosofia. Orangnya
disebut filosof, pencinta kebijaksanaan.
Sebagian orang menyebut
filsuf. Berikut adalah beberapa definisi filsafat oleh para ahli:
- Plato (427 – 347 SM), mengatakan
bahwa filsafat adalah mengkritik pendapat-pendapat yang berlaku. Jadi, kearifan
atau pengetahuan intelektual itu diperoleh melalui suatu proses pemeriksaan
secara kritis.[1]
- Aristoteles (384 – 322 SM),
menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu menyelidiki tentang hal ada sebagai hal
ada yang berbeda dengan bagian-bagiannya yang satu atau lainnya. Ilmu ini juga
dianggap sebagai ilmu yang pertama dan terakhir, sebab secara logis disyaratkan
adanya ilmu lain yang juga harus dikuasai, sehingga untuk memahaminya orang
harus menguasai ilmu-ilmu yang lain itu.[2]
- Lous O. Kattsoff (1963), di dalam
bukunya Element of Philosophy mengartikan filsafat sebagai berpikir secara
kritis, sistematis, rasional, komprehensif (menyeluruh), dan menghasilkan
sesuatu yang runtut.[3]
2. Definisis Komunikasi
Istilah komunikasi
berpangkal pada perkataan latin Communis yang artinya membuat kebersamaan atau
membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari
akar kata dalam bahasa Latin Communico yang artinya membagi. Brikut ini
beberapa pengertian dari para ahli:
- Harold Lasswell mengatakan bahwa
proses komunikasi meliputi “who says what to whom in what channel with what
effect.”[4]
- Carl I. Hovland berpendapat bahwa
komunikasi merupakan suatu proses, “Communication is the process by which an
individual (the communicator) transmit stimuly (usualy verbal symbol) to modify
the behavior the other individual (communicates).”[5]
- Everett M. Rogers memberikan definisi
bahwa “Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk
atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada
gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.”[6]
Paradigma Lasswell di atas
menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari
pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
Komunikator (siapa yang
mengatakan?)
Pesan (mengatakan apa?)
Media (melalui saluran/
channel/media apa?)
Komunikan (kepada siapa?)
Efek (dengan dampak/efek
apa?).
Jadi berdasarkan paradigma
Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator
membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu
kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertruntut.
B. Cakupan-Cakupan Materi Filsafat Komunikasi
1. Hakikat Filsafat Komunikasi
Menurut Prof. Onong Unchjana
Effendi (2003:321), filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang menelaah
pemahaman (verstehen) secara lebih mendalam, fundamental, metodologis,
sistemats, analitis, kritis dan komperhensif teori dan proses komunikasi yang
meliputi segala dimensi menurut bidang, sifat, tatanan, tujuan, fungsi, teknik,
dan metode-metodenya.[7]
Bidang komunikasi, meliputi
komunikasi sosial, organisasional, bisnis, politik, internasional, komunikasi
antar budaya, pembangunan, tradisional dan lain-lain.
Sifat komunikasi, meliputi
komunikasi verbal dan nonverbal. Adapun ragam tingkatan atau tatanan komunikasi
adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi intrapribadi (intrapersonal
communication) yaitu komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang yang berupa
proses pengolahan informasi melalui panca indera dan sistem syaraf manusia.
b. Komunikasi antarpribadi (interpersonal
communication) yaitu kegiatan komunikasi yang dilakukan seseorang dengan orang
lain dengan corak komunikasinya lebih bersifat pribadi dan sampai pada tataran
prediksi hasil komunikasinya pada tingkatan psikologis yang memandang pribadi
sebagai unik. Dalam komunikasi ini jumlah perilaku yang terlibat pada dasarnya
bisa lebih dari dua orang selama pesan atau informasi yang disampaikan bersifat
pribadi.
c. Komunikasi kelompok (group
communication) yaitu komunikasi yang berlangsung di antara anggota suatu
kelompok. Menurut Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam Sendjaja,(1994)
memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau
lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti
berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua
anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat.
d. Komunikasi organisasi (organization
communication) yaitu pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di
dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto,
2005:52).
e. Komunikasi massa (mass communication).
Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai suatu jenis komunikasi yang
ditujukan kepada sejumlah audien yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui
media massa cetak atau elektrolik sehingga pesan yang sama dapat diterima
secara serentak dan sesaat. Kemudian Mulyana (2005:74) juga menambahkan konteks
komunikasi publik. Pengertian komunikasi publik adalah komunikasi antara
seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak). Yang tidak bisa
dikenali satu persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah
atau kuliah (umum). Beberapa pakar komunikasi menggunakan istilah komunikasi
kelompok besar (large group communication) untuk komunikasi ini.
Tujuan komunikasi bisa
terdiri dari soal mengubah sikap, opini, perilaku, masyarakat, dan lainnya.
Sementara itu, fungsi komunikasi adalah menginformasikan, mendidik,
mempengaruhi.
Teknik komunikasi terdiri
dari komunikasi informatif, persuasif, pervasif, koersif, instruktif, dan
hubungan manusiawi. Metode komunikasi, meliputi jurnalistik, hubungan
masyarakat, periklanan, propaganda, perang urat saraf, dan perpustakaan.
Sehingga dengan demikian
bisa dikatakan bahwa filsafat komunikasi adalah ilmu yang mengkaji setiap aspek
dari komunikasi dengan menggunakan pendekatan dan metode filsafat sehingga
didapatkan penjelasan yang mendasar, utuh, dan sistematis seputar komunikasi.
2. Tema Pokok dalam Etika dan Filsafat
Komunikasi
a. Manusia Sebagai Pelaku Komunikasi
Hakikat komunikasi adalah
proses ekspresi antarmanusia. Posisi manusia dalam komunikasi dapat dilihat
pada rumusan komunikasi dari Lasswell dan Aristoteles. Pola komunikasi menurut
Lasswell mengikuti rumusan “Who say what to whom in what channel with what
effect”. Sedangkan dalam model komunikasi Aristoteles kedudukan manusia sebagai
pelaku komunikasi meliputi “pembicara” dan “pendengar”. Rumusan komunikasi
menurut Aristoteles sendiri terdiri dari empat unsur, yakni pembicara, argumen,
pidato, dan pendengar.[8]
Berdasarkan dua rumusan
tersebut, maka manusia memegang peran penting dalam komunikasi. Karena manusia
merupakan pelaku komunikasi itu sendiri, yakni sebagai komunikator dan
komunikan.
b. Teknologi Komunikasi
Teknologi informas dan
komunikasi saat ini berkembang dengan sangat pesat. Sejak awal ditemukannya
pada tahun 1876, telepon yang mulanya duganakan untuk mengirim suara, terus
mengalami perkembangan baik dari segi ukuran maupun fungsi. Hal ini juga
terjadi pada komputer.
Kini, komputer dan telepon
bahkan disatukan dalam satu alat dengan ukuran yang kecil sehingga memudahkan
kita untuk membawanya kemana saja. Ditunjang dengan teknologi jaringan dunia
yang bisa diakses dengan sangat luas dan kapan saja, yakni international
network (internet) yang kini telah melahirkan banyak situs.
c. Komunikasi Efektif dan Strategi Komunikasi
Proses komunikasi memang
tidak dapat dihindarkan dari aktivitas manusia. Namun, komunikasi tidak selalu
berjalan sebagaimana mestinya. Ketidakefektifan dalam berkomunikasi adalah hal
yang juga sering terjadi. Hal ini akan terjadi jika pesan yang disampaikan oleh
komunikator tidak diterima secara benar dan baik oleh komunikan, dan masih
banyak faktor-faktor lain yang dapat menyebabkannya.
Wilbur Schramm menyebut
sebagai “the conditions of success in communication”, yakni kondisi yang harus
dipenuhi jika kita ingin agar pesan yang kita sampaikan menghasilkan tanggapan
yang kita inginkan.
The Conditionsof Success in
Communication terebut meliputi :[9]
· Pesan harus dirancang sedemikian dan
disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikasi.
· Pesan harus menggunakan lambang yang
memiliki pengertian yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga
sama-sama mengerti.
· Pesan harus dapat menumbuhkan
kebutuhan pribadi komunikan sekaligus menyediakan alternatif mencapai kebutuhan
tersebut.
· Pesan harus berkaitan dengan kebutuhan
kelompok dimana komunikan berada.
3. Komunikasi Sebagai Proses Simbolis
Teori
interaksionisme-simbolis dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan
tokoh-tokohnya seperti George Herbert Mead dan George Herbert Blumer. Awal
perkembangan interaksionisme simbolis dapat dibagi menjadi dua aliran mazhab,
yaitu aliran/mazhab Chcago, yang dipelopori oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian
yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak
bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda
mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalamannya,
dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang.[10]
Menurut Blumer, teori ini
berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka; (2) makna tersebut berasal atau
muncul dari “intervensi sosial seseorang dengan orang lain”; dan (3) makna
tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi
sosial” berlangsung. “Sesuatu” ini tidak mempunyai makna yang intrisik. Sebab,
makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi
simbolis.
Bagi Blumer, “sesuatu’ yang disebut juga “realitas
sosial”, bisa berupa fenomena alam, artifisial, tindakan seseorang, baik verbal
maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas
sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristik.
Sebab, kata blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor
melakukan serangkaian kegiatan olah mental, yakni memilih, memeriksa,
mengelompookkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasikan makna dalam
kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya.
[1]
Muhammad Mufid, 2010, Etika
dan Filsafat Komunikasi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hlm. 4.
[2]
Ibbid.
[3]
Ibbid, hlm. 6.
[4]
Ibbid, hlm. 60.
[5]
Kismiyati El Karimah, Uud
Wahyudin, 2010, Filsafat & Etika Komunikasi, Bandung : Widya
Pajajaran, hlm. 27-28.
[6]
Hafied Cangara, 2008, Pengantar
Ilmu Komunikasi, Jakarta : Rajawali Pers, hlm. 20.
[7]
Muhammad Mufid, 2010, Etika
dan Filsafat Komunikasi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hlm. 83-84.
[8]
Ibbid, hlm. 99.
[9]
Opcit, Muhamad Muhfid, hlm.
128-129.
[10]
Opcit, Muhamad Muhfid, hlm.
148.
Komentar
Posting Komentar